Dimethyl Ether (DME) Dari
Batubara
Sebagai Bahan Bakar Gas Alternatif Selain LPG
Ahsonul Anam
Sub Bid Konversi dan Pengendalian
Polusi, Bid Energi Fosil
Balai Besar Teknologi Energi (B2TE) – BPPT, Kawasan PUSPIPTEK, Tangerang Selatan 15314, Indonesia
Email : ahsonosh@yahoo.com
Abstrak
Makalah ini menguraikan cadangan batubara
Indonesia yang berlimpah, konsumsi, produksi dan ekspor. Diuraikan pula secara ringkas rumitnya merancang
pembangunan dan menentukan prioritas dalam penyusunan RAPBN, termasuk besarnya subsidi BBM yang
harus ditanggung setiap tahun. Minyak tanah mengambil porsi subsidi terbesar di
banding yang lain, karena itu, pemerintah bersama DPR telah bersepakat untuk
menghapuskan subsidi BBM secara bertahap, dan mengalihkan penggunaan minyak tanah ke LPG mengingat cadangan gas Indonesia relatif
lebih besar ketimbang minyak bumi, meski sebagian juga sudah dikonsesikan
kepada pihak asing. Mengkaitkan masalah energi dimasyarakat dan potensi batubara ini telah
dipikirkan upaya untuk memproduksi DME sebagai bahan bakar alternatif untuk memasak
pada skala rumah tangga.
Kata kunci: cadangan batubara, DME, ekspor, konsumsi batubara, LPG, produksi batubara
Abstract
This paper describes an abundant coal resource of Indonesia,
consumption, production and its ekspor.
It describes briefly the complexity of development arrangement and priority
setting in RAPBN, includes the large amount
of subsidy – especially oil – which has to be taken into account each year. Kerosene
takes the largest portion of oil subsidy. This is the reason why the government
along with DPR to agree in eliminating kerosene subsidy gradually, and to derive a conversion policy to shift from kerosene to
LPG considering the gas resources is
greater that oil resources, eventhough a big portion of it has been
consessioned to foreigners. To relate this problems
and coal resources, it was exerted to produce coal-derived DME to become an
alternative gas fuel for cooking at household scale.
Key words: coal resource, coal consumption,
coal export, coal production, DME, LPG.
1. PENDAHULUAN.
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses
fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Adapun proses yang
mengubah tumbuhan menjadi batubara disebut dengan pembatubaraan (coalification). Faktor tumbuhan purba
yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh
dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan,
pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung
kemudian, menyebabkan terbentuknya batubara dengan jenis bermacam-macam. Oleh
karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lahan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam), lihat Gambar 1.
Gambar 1. Proses Terbentuknya Batubara [9].
Pembentukan batubara dimulai
sejak periode pembentukan karbon (Carboniferous
Period), dikenal sebagai zaman batubara pertama, yang berlangsung antara
360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan
serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai maturitas organik. Proses
awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), selanjutnya berubah menjadi batubara muda (lignit) atau
disebut pula batu bara coklat (brown coal).
Batubara muda adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah.
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan
tahun, maka batubara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap
menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batubara
subbituminus. Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara
menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus.
Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi
terus berlangsung hingga membentuk antrasit. Dalam proses pembatubaraan,
maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap
unsur utama pembentuk batubara. Berikut ini ditunjukkan contoh analisis dari
masing-masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan pembatubaraan. Contoh
analisis batubara diberikan dalam Tabel
1. Terlihat bahwa semakin
tinggi tingkat pembatubaraan, maka kadar karbon akan meningkat, sedangkan
hidrogen dan oksigen akan berkurang. Karena tingkat pembatubaraan secara umum
dapat diasosiasikan dengan mutu atau kualitas batubara, maka batubara dengan
tingkat pembatubaraan seperti lignit dan subbituminus biasanya lebih lembut
dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat
kelembaban (moisture) yang tinggi dan
kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya juga rendah. Semakin
tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya
akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang
sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga
semakin besar. Hubungan tingkat pembatubaraan versus kadar
unsur utama (C, O dan H) ditampilkan dalam Gambar
2.
Tabel 1. Contoh Analisis Batubara (daf) [9].
Jenis Batubara
|
C (%)
|
H(%)
|
O(%)
|
N(%)
|
C/O
|
Kayu
|
50,0
|
6,0
|
43,0
|
1,0
|
1,2
|
Gambut
|
59,0
|
6,0
|
33,0
|
2,0
|
1,8
|
Lignit
|
69,0
|
5,5
|
25,0
|
0,5
|
2,8
|
Bituminus
|
82,0
|
5,0
|
12,2
|
0,8
|
6,7
|
Antrasit
|
95,0
|
2,5
|
2,5
|
0,0
|
38,0
|
Gambar 2. Hubungan Tingkat
Pembatubaraan vs Kadar Unsur Utama [9].
Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan
Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera
dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara tersebut tergolong usia muda,
yang dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Tersier Bawah dan Tersier
Atas.
Potensi batubara yang besar terdapat di Pulau Kalimantan dan Pulau
Sumatera, sedangkan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan Sulawesi daerah
lainnya dapat dijumpai batubara namun dalam jumlah lebih kecil, lihat Gambar 3. Namun
dari cadangan batubara yang melimpah tersebut, sebagian besar berupa batubara
muda, yaitu sekitar 60 %, yang sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan
karena kandungan panas yang relatif
rendah, kadar air dan abu yang relatif tinggi serta titik lelehnya rendah [3].
Gambar 3: Peta Indonesia, segitiga hitam menunjukkan adanya potensi batubara.
Jumlah sumber daya batubara Indonesia tahun 2005
berdasarkan perhitungan Pusat Sumber Daya Geologi, Depatemen Energi dan Sumber
Daya Mineral mencapai 61,366 milyar ton, lihat Tabel 2. Statistik
produksi, konsumsi dan ekspor batubara Indonesia diberikan dalam Tabel 3. Konsumsi batubara di dalam
negeri meliputi penggunaan batubara di PLTU, industri semen, industri kertas,
industri tekstil, industri metalurgi dan industri lainnya dari 1998-2005,
secara ringkas ditampilkan dalam Tabel 4 dan Tabel 5.
Bila ditinjau kebutuhan batubara di dalam negeri, PLTU merupakan industri yang paling banyak
menggunakan batubara, yaitu sebesar 25,1 juta ton atau 71,11% konsumsi batubara
dalam negeri pada tahun 2005.
Perkembangan pemakaian batubara pada indsutri semen 1998-2005 berfluktuasi.
Antara tahun 1998-2001, pemakaian batubara rata-rata naik signifikan yaitu
64,03%, namun pada tahun 2002-2003 mengalami penurunan hingga 7,59%. Memasuki
tahun 2004, kebutuhan batubara pada industri semen meningkat menjadi 19,78%,
sementara pada 2005 tercatat sekitar 5,77 juta ton atau 17,04% kebutuhan
batubara dalam negeri dimanfaatkan oleh industri semen.
Pemakaian batubara pada industri kertas selama kurun waktu 1998-2005 meningkat 42,36%, dan pada tahun 2005 jumlah kebutuhan
batubara untuk industri kertas mencapai 2,21 juta ton.
Tabel 2. Kualitas, Sumberdaya dan Cadangan
Batubara Indonesia.
Tiap Propinsi, 2005 [10]
Tabel 3. Statistik Produksi,
Konsumsi dan Ekspor Batubara Indonesia [10]
2005
|
2004
|
2003
|
2002
|
2001
|
2000
|
1999
|
|
Produksi,
tons
|
|||||||
Konsumsi,
ton
|
|||||||
Export,
tons
|
|||||||
Import,
tons
|
Tabel 4. Konsumsi Batubara
Menurut Jenis Industri di Indonesia
Tahun 1998 – 2005 [10]
Ton
JENIS INDUSTRI
|
1998
|
1999
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
PLTU
|
10.911.341
|
13.047.717
|
13.943.613
|
19.165.256
|
21.902.161
|
23.810.054
|
23.492.328
|
25.132.174
|
SEMEN
|
1.279.973
|
2.762.831
|
3.763.884
|
5.938.172
|
5.355.172
|
5.068.194
|
6.070.825
|
4.023.248
|
Industri Tekstil
|
---
|
---
|
---
|
---
|
---
|
274.160
|
381.440
|
1.307.610
|
Industri Kertas
|
492.737
|
805.397
|
766.549
|
804.202
|
471.751
|
1.680.304
|
1.106.227
|
2.272.445
|
Metalurgi
|
144.907
|
123.226
|
134.393
|
220.666
|
236.802
|
225.907
|
122.827
|
160.490
|
Briket
|
29.963
|
38.302
|
36.799
|
31.265
|
24.708
|
24.976
|
23.506
|
28.267
|
Lain-lain
|
2.400.550
|
2.573.355
|
5.545.409
|
2.407.667
|
3.792.481
|
4.715.840
|
5.237.639
|
417.583
|
Jumlah
|
15.659.471
|
19.350.828
|
241.190.847
|
28.567.228
|
31.783.364
|
35.799.436
|
36.434.791
|
35.341.816
|
Tabel 5. Konsumsi Batubara tahun 2005 [10].
Perusahaan
Pengguna
|
Volume, Ton
|
|
Briket
|
||
Pabrik Briket
CV. Sarana Teknik Utama (Jabar)
|
1.473,60
|
|
Pabrik Briket
CV. Sarana Teknik Utama (Jateng)
|
914,16
|
|
Pabrik Briket Palimanan (Jabar)
|
2.978,75
|
|
Pabrik Briket
PTBA-Gresik (Jatim)
|
4.,621,72
|
|
Briket
PTBA-Tanjung Enim (Sumsel)
|
9.617,13
|
|
Pabrik Briket
PTBA Nalar (Lampung)
|
6.677,00
|
|
Industri Karet Ban
|
||
Industri Karet Ban (Jabar)
|
17.280,00
|
|
Industri Kertas
|
||
Industri Kertas (Banten)
|
759.200,00
|
|
Industri Kertas (Jateng)
|
73.680,00
|
|
Industri Kertas (Jatim)
|
794.206,70
|
|
PT. Indah Kiat (Riau)
|
530.440,95
|
|
PT. Indorayon Utama (Sumut)
|
8.355,30
|
|
Industri Kimia
|
||
Industri Kimia (Banten)
|
302.950,00
|
|
Industri Lainnya
|
||
Industri Lainnya (Jateng)
|
56.988,00
|
|
Industri M. Goreng
|
||
Industri M. Goreng (Banten)
|
7.300,00
|
|
Industri M. Goreng (Jabar)
|
6.120,00
|
|
Industri Makanan
|
||
Industri Makanan (Banten)
|
7.300,00
|
|
Industri Makanan (Jabar)
|
5.400,00
|
|
Industri Tekstil
|
||
Industri Tekstil (Banten)
|
317.550,00
|
|
Industri Tekstil (Jateng)
|
139.020,00
|
|
Metalurgi
|
||
PT. Antam Tbk (Babel)
|
50.096,95
|
|
PT. Koba Tin (Babel)
|
11.478,88
|
|
PT. Timah Tbk (Babel)
|
14.831,34
|
|
PLTU
|
||
PLTU Asam Asam (Kalsel)
|
600.000,00
|
|
PLTU Bisnis Semarang (Jateng)
|
750.000,00
|
|
PLTU Bukit Asam (Sumsel)
|
1.080.000,00
|
|
PLTU Ombilin (Sumbar)
|
547.904,58
|
|
Semen
|
||
PT. Indocement-Tarjun (Kalsel)
|
364.017,75
|
|
PT. Semen Baturaja (Sumsel)
|
143.973,00
|
|
PT. Semen Padang
(Sumbar)
|
678.124,00
|
|
Briket
|
||
Briket Swasta (Banten)
|
1.985,00
|
|
Industri Kemasan
|
||
Industri Kemasan (Sulsel)
|
875,00
|
|
Industri Kertas
|
||
Industri Kertas (Jabar)
|
106.560,00
|
|
Industri Lainnya
|
||
Industri Lainnya (Banten)
|
3.650,00
|
|
Industri Tekstil
|
||
Industri Tekstil (Jabar)
|
851.040,00
|
|
Metalurgi
|
||
PT. Inco Tbk (Sulteng)
|
84.083,04
|
|
Pengecoran logam
|
||
Pengecoran Logam (Jateng)
|
9.720,00
|
|
PLTU
|
||
PLTU PT. Freeport Indonesia (Papua)
|
623.332,50
|
|
PLTU PT. Newmont Sumbawa (NTB)
|
506.637,46
|
|
PLTU Tonasa (Sulsel)
|
300.000,00
|
|
PLTU Grati (Jatim)
|
250.000,00
|
|
PLTU Lati (Kaltim)
|
58.800,00
|
|
PLTU Paiton (Jatim)
|
10.180.730,63
|
|
PLTU Suralaya (Banten)
|
10.234.769,00
|
|
Semen
|
||
PT. Bosowa Cement (Sulsel)
|
252.179,70
|
|
PT. Indocement TP Cibinong (Jabar)
|
1.170.430,89
|
|
PT. Indocement TP Cirebon
(Jabar)
|
359.372,00
|
|
PT. Semen
Holcim Narogong (Jabar)
|
554.583,00
|
|
PT. Semen Gresik (Jatim)
|
1.141.529,00
|
|
PT. Semen Holcim Cilacap (Jateng)
|
409.420,00
|
|
PT. Semen Kupang (NTT)
|
252.179,00
|
|
PT. Semen Tonasa (Sulsel)
|
697.440,00
|
|
TOTAL
|
35.341.816,03
|
Kebutuhan batubara oleh industri
metalurgi berfluktuasi, yaitu pada tahun 1998 tercatat 144,907 ribu ton,
meningkat hingga mencapai 236,802 ribu ton pada tahun 2002, namun kemudian
menurun hingga 112,827 ribu ton pada tahun 2005.
Sementara itu, untuk industri briket batubara, pemakaian batubara
berfluktuatif. Konsumsi terendah sebesar 23,506 ribu ton pada tahun 2004 dan
tertinggi pada thun 1999 mencapai 38,302 ribu ton.
Produksi batubara pada tahun 2005 oleh berbagai perusahaan-perusahaan
diberikan dalam Tabel 6. Data ekspor
diberikan dalam Tabel 7.
Produksi, konsumsi dan ekspor batubara mencapai jutaan ton per tahun. Obyek
batubara dalam Table 2-7 adalah batubara
yang berkualitas bagus di mana Indonesia hanya memiliki 40% dari cadangan
batubara keseluruhan. Lalu bagaimana dengan 60% cadangan batubara Indonesia,
yang notabene termasuk batubara muda yaitu lignit dan brown coal?. Apakah batubara tersebut tidak memiliki nilai jual
sehingga dibiarkan tetap sebagai cadangan?.
Tabel 6. Produksi Batubara pada tahun 2005 [10].
Perusahaan
|
Volume, Ton
|
|
BUMN
|
||
PTBA
|
8.606.635,00
|
|
KP SWASTA
|
||
Alhasanie, PT
|
117.000,44
|
|
Anugerah Bara Kaltim, PT
|
3.394.765,09
|
|
Baradinamika Muda Suksessarana, PT
|
63.679,58
|
|
Bina Mitra Sumberarta, PT
|
168.731,97
|
|
Bukit Baiduri Energi, PT
|
1.689.698,91
|
|
Bukit Bara Utama, PT
|
116.135,88
|
|
Bukit Sunur, PT
|
94.469,98
|
|
Danau Mashitam, PT
|
150.806,79
|
|
Fajar Bumi Sakti, PT
|
327.854,17
|
|
Karbindo Abesyapradhi, PT
|
34.065,25
|
|
Karya Murni, KOP
|
12.568,00
|
|
Kimco Armindo, PT
|
963.001,00
|
|
Kitadin Corporation - Embalut, PT
|
1.604.053,00
|
|
Mahakarya Ekaguna, PT
|
185.556,00
|
|
Manunggal Inti Arthamas, PT
|
308.420,14
|
|
Multi Prima Energi, PT
|
259.070,22
|
|
Nusa Riau
Kencana Coal, PT
|
388.498,59
|
|
Tri Bhakti Sarimas, PT
|
23.880,65
|
|
PKP2B - GEN-1
|
||
Adaro Indonesia,
PT
|
26.686.197,00
|
|
Arutmin Indonesia,
PT
|
16.756.700,00
|
|
Berau Coal, PT
|
9.197.371,00
|
|
Indominco Mandiri, PT
|
7.448.845,00
|
|
Kaltim Prima Coal, PT
|
28.183.329,00
|
|
Kideco Jaya Agung, PT
|
18.125.043,00
|
|
Multi Harapan Utama, PT
|
896.588,00
|
|
Tanito Harum, PT
|
2.402.775,51
|
|
PKP2B - GEN-2
|
||
Antang Gunung Meratus, PT
|
1.028.511,62
|
|
Bahari Cakrawala Sebuku, PT
|
2.999.997,00
|
|
Gunung Bayan Pratamacoal, PT
|
4.329.940,00
|
|
Jorong Barutama Greston, PT
|
3.028.935,00
|
|
Kartika Selabumi Mining, PT
|
1.035.136,43
|
|
Mandiri Intiperkasa, PT
|
1.081.728,02
|
|
Marunda Graha Mineral, PT
|
824.004,78
|
|
Riau Bara Harum, PT
|
167.029,60
|
|
Trubaindo Coal Mining, PT
|
1.610.389,00
|
|
PKP2B - GEN-3
|
||
Baramarta, PD
|
1.285.553,94
|
|
Baramulti Suksessarana, PT
|
27.335,29
|
|
Kadya Caraka Mulia, PT
|
167.416,39
|
|
Kalimantan Energi
Lestari, PT
|
600.805,00
|
|
Lanna Harita Indonesia, PT
|
1.886.550,24
|
|
Mahakam Sumber Jaya, PT
|
1.694.357,09
|
|
Sumber Kurnia Buana, PT
|
870.184,85
|
|
Tanjung Alam Jaya, PT
|
750.810,84
|
|
TOTAL
|
151.594.424,26
|
Tabel 7. Ekspor Batubara pada tahun 2005 [10].
Sumber : Hasil Survei Puslitbang Tekmira, 2006.
Country
|
Volume, Tons
|
US$ FOB
|
Adaro Indonesia,
PT
|
||
All Countries
|
17.317.389,00
|
|
Anugerah Bara Kaltim, PT
|
||
All Countries
|
1.501.591,24
|
|
Arutmin Indonesia,
PT
|
||
All Countries
|
12.516.891,00
|
|
Bahari Cakrawala Sebuku, PT
|
||
All Countries
|
2.822.636,00
|
|
Baramarta, PD
|
||
All Countries
|
95.176,73
|
|
Berau Coal, PT
|
||
All Countries
|
5.762.556,00
|
|
Bukit Baiduri Energi, PT
|
||
All Countries
|
1.626.484,52
|
|
Bukit Bara Utama, PT
|
||
All Countries
|
73.559,20
|
|
Bukit Sunur, PT
|
||
All Countries
|
79.383,80
|
|
Danau Mashitam, PT
|
||
All Countries
|
110.559,66
|
|
Fajar Bumi Sakti, PT
|
||
All Countries
|
119.853,10
|
|
Gunung Bayan Pratamacoal, PT
|
||
All Countries
|
1.324.250,90
|
|
Indominco Mandiri, PT
|
||
All Countries
|
8.901.843,00
|
|
Jorong Barutama Greston, PT
|
||
All Countries
|
2.138.520,84
|
|
Kalimantan
Energi Lestari, PT
|
||
All Countries
|
600.000,00
|
|
Kaltim Prima Coal, PT
|
||
All Countries
|
26.622.409,00
|
|
Kideco Jaya Agung, PT
|
||
All Countries
|
11.831.112,00
|
|
Kitadin Corporation - Embalut, PT
|
||
All Countries
|
1.046.616,00
|
|
Lanna Harita Indonesia, PT
|
||
All Countries
|
1.732.691,00
|
|
Mandiri Intiperkasa, PT
|
||
All Countries
|
1.020.531,00
|
|
Marunda Graha Mineral, PT
|
||
All Countries
|
788.254,83
|
|
Multi Harapan Utama, PT
|
||
All Countries
|
648.073,40
|
|
Nusa Riau
Kencana Coal, PT
|
||
All Countries
|
241.185,18
|
|
PTBA
|
||
All Countries
|
2.492.201,00
|
|
Tanito Harum, PT
|
||
All Countries
|
4.984.462,00
|
|
Trubaindo Coal Mining, PT
|
||
All Countries
|
389.197,00
|
|
TOTAL
|
106.787.427,40
|
2. Kebijakan Pemanfaatan Bahan
Bakar
Secara umum terjadinya peningkatan kebutuhan energi terkait erat dengan
kian berkembang kegiatan ekonomi dan kian bertambahnya jumlah penduduk. Peningkatan kebutuhan energi adalah suatu
hal yang tidak bisa dihindari. Pada tahun 1970, konsumsi energi primer di Indonesia hanya sebesar 50 juta SBM (Setara Barel Minyak).
Tiga puluh satu tahun kemudian, tepatnya tahun 2001, konsumsi energi primer telah menjadi 715 juta SBM atau mengalami
pertumbuhan yang luar biasa yaitu sebesar 1.330% atau pertumbuhan rata-rata
periode 1970-2001 sebesar 42,9%/tahun [8].
BBM merupakan energi utama yang dikonsumsi oleh masyarakat. Persentase
konsumsinya terhadap total pemakaian energi final merupakan yang terbesar dan
terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1990 konsumsi BBM sebesar 169,17 juta
SBM, angka ini adalah 40,2 % dari total konsumsi energi final. Sepuluh tahun kemudian,
pada tahun 2000, konsumsinya meningkat menjadi 304,14 juta SBM, di mana proporsi konsumsinya pun turut meningkat
menjadi 47,4 %. Proporsi pemakaian BBM yang tinggi terkait dengan keterlambatan
upaya diversifikasi ke energi non minyak sebagai akibat harga BBM yang relatif
murah oleh karena masih mendapat subsidi dari pemerintah [8]. Kebijakan pemberian subsidi BBM ini dimulai sejak
tahun anggaran 1977/1978 dengan maksud untuk menjaga stabilitas perekonomian
nasional melalui penciptaan stabilitas harga BBM sebagai komoditas yang
strategis. Namun dalam perjalanannya, subsidi BBM ini ternyata menimbulkan
masalah tersendiri. Masyarakat cenderung boros menggunakan BBM dan ada indikasi
bahwa alokasi subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat
berpenghasilan tinggi yang seharusnya tidak perlu mendapatkan subsidi.
Dari Tabel 8, bila dilihat dari sisi pemakai BBM, maka sektor transportasi merupakan pemakai BBM
terbesar dengan proporsi setiap tahun selalu mengalami kenaikan. Kemudian
disusul oleh sektor rumah tangga, sektor industri dan pembangkit listrik. Bila dilihat dari ketersediaannya,
selama ini kebutuhan BBM dipasok oleh Pertamina dan impor. Beberapa jenis
energi BBM yang sebagian penyediaannya melalui impor adalah avtur, minyak
solar, minyak diesel, dan minyak bakar.
Tabel 8. Pangsa Konsumsi BBM Persektor Tahun 1994-2003
Tahun
|
Industri(%)
|
Rumah Tangga & Komersial (%)
|
Transportasi(%)
|
Pembangkit Listrik(%)
|
1994
|
23,2
|
21,6
|
45,8
|
9,4
|
1997
|
21,1
|
19,0
|
47,9
|
12,0
|
1998
|
21,5
|
20,7
|
48,8
|
9,0
|
2000
|
21,7
|
22,2
|
47,1
|
9,0
|
2003
|
24,0
|
18,2
|
47,0
|
10,7*
|
Sumber: Ditjen Migas yang
dievaluasi. *Termasuk sektor lain-lain
Satu hal yang mengkhawatirkan adalah bahwa kecenderungan impor BBM kian
meningkat. Pada tahun 1992 pemakaian BBM sebagai energi final sebesar 201,577 juta
SBM, ternyata kilang dalam negeri hanya mampu memasok sekitar 167,944 juta SBM.
sehingga harus mengimpor sekitar 33,63 juta atau bila dirata-ratakan setiap
harinya harus mengoimpor BBM sebanyak 92.145 SBM. Angka impor BBM ini terus
meningkat hingga mencapai 107,94 juta SBM pada tahun 2003 atau sekitar 32,75 %
dari total konsumsi BBM dalam negeri.
3.
Kebijakan Konversi Minyak Tanah ke LPG
Secara keseluruhan konsumsi BBM bersubsidi tahun 2007
mengalami peningkatan 4,94 persen dari 41,578 juta kiloliter tahun 2006 menjadi
43,632 juta kiloliter. Perinciannya, konsumsi premium 2007 naik lima persen
dari 17,08 juta kiloliter tahun 2006 menjadi 17,934 juta kiloliter, solar naik
8,3 persen dari 14,498 juta kiloliter menjadi 15,698 juta kiloliter dan konsumsi
minyak tanah tetap yaitu 10 juta kiloliter.
Minyak tanah mengambil porsi yang sangat besar untuk subsidi BBM. Dari
struktur BBM bersubsidi, premium 16,5 juta kilo liter, solar 9,8 juta kilo
liter, dan minyak tanah 9,56 juta kilo
liter. Ditinjau dari jumlah per liter yang disubsidi, jumlah minyak tanah
paling kecil, namun dari segi nilai rupiah, jumlahnya yang terbesar. Jadi dari
jumlah subsidi yang totalnya Rp 56,4 triliun, subsidi untuk minyak tanah
sebesar Rp 32,5 triliun, mendekati 60 % total subsidi.
Subsidi energi, baik listrik maupun BBM, telah menjadi momok menakutkan
bagi pengambil keputusan di Republik Indonesia ini. Oleh karena itu, Pemerintah
bersama DPR telah bersepakat untuk menghapuskan subsidi BBM secara bertahap
seperti tertuang dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas). Meskipun demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata
lain, meski telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah
masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah
dan industri kecil.
Namun subsidi minyak tanah dalam dua tahun terakhir masih terasa
memberatkan karena besarnya volume yang harus disubsidi, seiring dengan
berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam managemen energi nasional. Kondisi
ini diperberat pula dengan bertahannya harga minyak dunia pada kisaran US$ 50-60 per barel. Karena itu, langkah pemerintah untuk melakukan konversi
penggunaan minyak tanah kepada bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum
Gas (LPG) bisa dianggap sebagai salah satu terobosan penting dalam mengatasi
rancunya pengembangan dan pemanfaatan energi, sekaligus mengurangi tekanan
terhadap RAPBN.
Dalam program itu, pemerintah berencana mengkonversi penggunaan sekitar 5,2
juta kilo liter kepada penggunaan 3,5
juta ton LPG hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan 1 juta kilo
liter pada 2007. Pada akhir tahun 2010,
sebanyak 80% konsumsi minyak tanah bisa beralih ke LPG.
Pemerintah menegaskan bahwa konversi
ditargetkan harus selesai dalam empat tahun ini, karena program tersebut
bisa memberikan efisiensi keuangan masyarakat maupun pemerintah. Dengan adanya
program konversi, pemerintah akan menghemat Rp30 triliun per tahun sehingga
masyarakat juga harus mendukung program itu. Harga pokok minyak tanah saat ini
mencapai Rp6.000, per liter, tetapi dengan cara mendapatkan subsidi dari
pemerintah sebesar Rp3.500, maka harga minyak tanah dijual kepada masyarakat
Rp2.500,00,- per liter.
Pemerintah memasyarakatkan LPG dengan membuat tabung-tabung kecil yang dibagikan ke masyarakat pengguna
minyak tanah di perkotaan.
Program pengalihan minyak tanah ke LPG dilaksanakan berdasarkan surat Wakil
Presiden RI Nomor 20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006. Surat tersebut
merupakan tindak lanjut dari hasil rapat koordinasi terbatas di Kantor Wakil
Presiden.
Pemerintah menyampaikan target rinci substitusi minyak tanah ke LPG mulai
tahun 2007 sampai achir 2010. Pengalihan dilakukan bertahap, dengan
target seluruh volume minyak tanah bersubsidi sebanyak 10 juta kiloliter
diganti dengan 5,71 juta ton LPG. Program substitusi itu akan diserahkan kepada
PT Pertamina. Sesuai dengan jadwal, hingga akhir 2007 pemerintah menargetkan
penarikan minyak tanah sekitar 131.000 kilo liter. Tahun 2008 sebanyak 1,12 juta kilo liter minyak tanah diganti dengan
sekitar 645.000 ton LPG. Pemerintah optimis menargetkan pada 2011, masyarakat
sepenuhnya akan menggunakan bahan bakar gas.
Target Konversi Penggunaan Minyak
Tanah ke LPG 2007 diberikan dalam Tabel
9.
Tabel 9. Jumlah Kepala
Keluarga diJawa dan Bali yang Menjadi Target Konversi Penggunaan Minyak Tanah ke LPG, 2007
Wilayah
|
Jumlah (KK)
|
Jabodetabek
|
3.802.000
|
Bandung
|
209.000
|
Cirebon
|
131.000
|
Semarang
|
244.000
|
Yogyakarta
|
39.000
|
Surabaya
|
621.000
|
Bali
|
313.000
|
Sumber,
Pertamina, 2007
4.
Hambatan Kebijakan Konversi Minyak Tanah ke LPG
Konversi ke LPG berada di jalur yang tepat. Cadangan gas Indonesia relatif
lebih besar ketimbang minyak bumi, meski sebagian juga sudah dikonsesikan
kepada pihak asing. Namun, yang tidak tepat adalah menjadikan konversi bahan
bakar dalam waktu singkat serta membiarkan orang miskin di Jawa – Bali hidup tanpa subsidi.
Program konversi minyak tanah ke LPG menimbulkan
masalah baru, yaitu kelangkaan minyak tanah, distribusi kompor dan tabung gas yang
terlambat. Ini akibat
perencanaan pemerintah yang kurang matang mulai dari kurangnya sosialisasi, keterlambatan distribusi,
dan terlalu cepatnya
penarikan minyak tanah.
Minyak tanah bersubsidi sudah ditarik dari wilayah terkonversi, padahal jaringan
distribusi gas LPG pengganti belum tersedia optimal. Bagi sebagian besar target LPG adalah suatu yang baru. Selain itu, dalam waktu relatif singkat pula telah terjadi
beberapa kali kenaikan BBM
dan LPG.
Sampai saat ini, LPG non subsidi baik 12 kg maupun 50 kg, masih dijual di bawah
harga keekonomian. Harga keekonomian LPG adalah Rp11,400 per kg.
PT Pertamina (Persero) terhitung mulai 25 Agustus 2008 kembali menaikkan
harga jual LPG kemasan 12 kg dan 50 kg. Harga jual LPG kemasan 12 kg naik 9,5
persen dari Rp5.250 per kg menjadi Rp5.750 per kg. Dengan demikian, harga per
tabung naik dari Rp63.000 menjadi Rp69.000. Sebelumnya, per 1 Juli 2008, harga LPG 12 kg naik
dari Rp51.000 menjadi Rp63.000 per tabung atau dari Rp4.250 menjadi Rp5.250 per
kg. Pertamina juga berencana menaikkan harga LPG 12 kg sebesar Rp500 per bulan
sampai harga keekonomian tercapai, yaitu Rp11.400 per kg.
Sedangkan harga jual LPG kemasan 50 kg, Pertamina mengurangi diskon dari
sebelumnya 15 persen menjadi 10 persen atau dari harga Rp6.878 per kg menjadi
Rp7.255 per kg, sehingga, harga LPG kemasan 50 kg per 25 Agustus 2008 akan naik
dari Rp343.900 per tabung menjadi Rp362.750 per tabung. Pertamina juga akan
mengurangi diskon LPG kemasan 50 kg secara bertahap hingga mencapai harga keekonomiannya.
Harga jual LPG bersubsidi yakni tabung 3 kg, tetap Rp4.250 per kg atau Rp12.750 per
tabung.
Terkait kenaikan harga LPG ukuran 12 kg akan menyebabkan masyarakat
mengalihkan konsumsinya pada LPG ukuran 3 kg. Hal serupa pernah terjadi saat
Pertamina menaikkan harga jual gas LPG ukuran 50 kg, konsumen beralih
menggunakan LPG ukuran 12 kg.
Untuk tahun 2008, harga rata-rata LPG di pasar internasional dengan mengacu
CP Aramco adalah 858 dolar per metrik ton atau harga keekonomian Rp11.400 per kg.
Dengan demikian, Pertamina masih rugi dalam penjualan LPG 12 kg dan 50 kg
sebesar Rp6,5 triliun per tahun.
Berdasarkan data PT Pertamina (Persero), total konsumsi LPG 2008 mencapai
1,85 juta ton dan 600.000 ton di antaranya untuk program konversi. Pada 2009
kebutuhan LPG akan meningkat menjadi 3,67 juta ton dan 2 juta ton di antaranya
untuk program konversi sampai akhir tahun.
Namun, sumber pasokan LPG dari dalam negeri diperkirakan tidak akan
beranjak dari angka 1,8 juta ton per tahun dalam beberapa tahun mendatang.
Sehingga, Indonesia harus menutup kebutuhan dengan mengimpor LPG dalam jumlah
cukup besar
Langkah pemerintah untuk terus menaikkan harga LPG (kecuali ukuran 3 kg)
hingga mencapai harga keekonomiannya membuat masyarakat cemas. Sebelumnya rakyat
dipaksa untuk beralih dari minyak tanah ke gas dengan cara menarik minyak tanah
dari peredaran dan menghapus subsidi energi yang sangat diperlukan masyarakat
kecil itu. Begitu rakyat sudah beralih ke gas, dan minyak tanah sudah
menghilang di pasaran, pemerintah
menaikan harga LPG. Di samping itu, pasokan LPG dalam negeri untuk
beberapa tahun mendatang juga harus ditutup dengan cara mengimpor LPG.
Pertanyaan yang patut diajukan sekarang adalah : Apakah ada bahan bakar gas
lain untuk sektor rumah tangga selain LPG dan bisa diproduksi di dalam negeri
?.
5.
Dimethyl Ether (DME)
Dimethyl Ether, disingkat DME, memiliki monostruktur kimia yang sederhana
(CH3-O-CH3), berbentuk gas yang tidak berwarna pada suhu ambien, zat kimia yang
stabil, dengan titik didih -25,1oC. Tekanan uap DME sekitar 0,6 Mpa pada 25oC
dan dapat dicairkan seperti halnya LPG. Viskositas DME 0,12 - 0,15 kg/ms, setara dengan viskositas propana dan
butana (konstituen utama LPG), sehingga infrastruktur untuk LPG dapat juga
digunakan untuk DME.
DME dapat digunakan seperti LPG. DME terbakar dengan
nyala biru terang. Sebuah studi tentang kandungan racun dalam DME menegaskan
bahwa kandungan racunnya sangat rendah, sama dengan kandungan racun di LPG,
dan jauh di bawah kandungan racun methanol.
DME memiliki rasio nilai kalor dengan resistasi aliran bahan bakar gas (Number of Wob Iindex) 52 – 54 atau setara dengan gas alam.
Kompor untuk gas alam atau LPG bisa digunakan untuk DME tanpa modifikasi. Efisiensi termal dan emisinya hampir sama dengan gas alam [1, 2, 4, 5, 6, 7].
Tabel 10. Karakteristik DME, Propan dan Butana, konstituen utama dari LPG [4].
Karakteristik
|
DME
|
Propane
|
Methane
|
Rumus Kimia
|
CH3OCH3
|
C3H8
|
CH4
|
Titik Didih (C)
|
-25,1
|
-42,0
|
-161,5
|
Densitas (g/cm3 @20C)
|
0,67
|
0,49
|
0,42
|
Viskositas (kg/ms @25C)
|
0,12-0,15
|
0,2
|
-
|
Specific gravity dari gas (vs. Udara)
|
1,59
|
1,52
|
0,55
|
Tekanan Uap (MPa @25C)
|
0,61
|
0,93
|
-
|
Explosion limit (%)
|
3,4
- 17
|
2,1
– 9,4
|
5
- 15
|
Cetane number
|
55-60
|
5
|
0
|
Net calorific value (kcal/Nm3)
|
14.200
|
21.800
|
8.600
|
Net calorific value (kcal/kg)
|
6.900
|
11.100
|
12.000
|
5.1. Upaya Pengembangan Produksi DME
Suatu proses inovatif dalam sintesa langsung DME
dari gas sintesa telah dikembangkan oleh Yotaro Ohno dkk dari JFE. Katalis yang baru dikembangkan dalam reaktor fasa slurry telah memberikan konversi dan
selektivitas DME yang tinggi. Setelah pengujian skala pilot (5 ton/hari), pengembangan
teknis lebih lanjut dalam upaya mengkomersialkannya, proyek skala demonstrasi
(100 ton/hari) telah dimulai pada tahun 2002 dengan dukungan pemerintah Jepang.
JFE, sebelumnya
bernama NKK Corporation, telah melaksanakan pengembangan teknis mengenai proses
sintesa DME langsung dari gas sintesa sejak 1989. Proyek pengembangan lima
tahun dengan menggunakan skala pilot 5 ton/hari telah berhasil dilaksanakan [2]. Skala pilot 5 ton-DME/hari
dirancang dan dikonstruksi oleh JFE pada tahun 1999 di lokasi pertambangan
batubara Taiheiyo, Hokkaido. Gas sintesa diproduksi dengan reaksi reformasi
dalam reformer autotermal dari gas tambang batubara (CH4 40%, Udara 60%) dan propane dengan oksigen, uap air dan
resirkulasi karbon dioksida untuk memperlebar variasi rasio hidrogen/karbon
monoksida. Propana
ditambahkan untuk mereduksi kandungan nitrogen dalam gas sintesa. Pengoperasian
produksi gas sintesa dan DME sangat stabil.
Pada tahun 2002, proyek pengembangan lima tahun
menggunakan pabrik skala demonstrasi 100 ton/hari telah dimulai oleh DME
Development Co., Ltd. Yang
dibentuk pada bulan Desember 2001 dengan misi mempromosikan pengembangan teknologi sintesa
langsung DME oleh JFE, Taiyo Nissan Corporation, Toyota Tsusho Corporation,
Hitachi Ltd., Idemitsu Kosan Co., Ltd, Marubeni Corporation, INPEX Corporation,
LNG Japan Corporation, Total S.A. dan Japex Co., Ltd.
Di Jepang, konsumsi DME mencapai 10.000 ton per tahun, sebagian besar
sebagai untuk aerosol propellant pada hair spray atau deodorant.
Karena sifat dan kualitasnya yang hampir sama dengan LPG, Pemeritah Jepang
merencanakan untuk mensubsitusi sebagian pemakaian LPG dengan DME.
Di China, pabrik DME komersial dengan kapasitas 30 ton per hari atau 10.000 ton/tahun telah dibangun oleh
Lituanhua Group Incorporation dengan lisensi teknologi dari Toyo Engineering
Japan dan dioperasikan pada bulan Agustus 2003. Atas dasar keberhasilan ini,
telah dilanjutkan pembangunan lainnya dengan kapasitas yang lebih besar
(110.000 ton per tahun) dan telah dioperasikan pada akhir tahun 2005. Pada
Desember 2006, China menandatangani kerjasama antara Lituanhua Group dan Toyo
Engineering untuk pembangunan DME Plant dengan kapasitas 1 juta ton per tahun
di Provinsi Mongolia, yang akan menjadi kilang DME terbesar di dunia.
Konsumsi DME di China saat ini diperkirakan mencapai 120.000 ton per tahun,
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan aerosol propellant, dan bahan baku
industri kimia. Sebagian kecil DME di-blending (campuran) dengan LPG untuk
bahan bakar rumah tangga.
5.2. Proses Produksi DME.
Produksi DME secara konvensional melalui dua tahap proses yaitu:
- sintesis methanol, bisa diperoleh dari konversi biomasa atau reaksi gas
karbon monoksida atau karbon dioksida dengan hydrogen.
- dehidrasi, dua molekul metanol mengalami proses penarikan molekul air
menghasilkan satu molekul DME. Dehidrasi ini perlu menggunakan katalis logam
atau semi-logam oksida misalnya aluminium oksida (gamma-Al2O3)
pada suhu diatas 100 ºC dan tekanan beberapa atmosfer.
Proses sintesis DME dua tahap tersebut, mulai ditinggalkan dan penelitian
terutama dalam bidang katalis untuk memproduksi DME dalam proses satu tahap
mengalami peningkatan pesat. Sintesis DME satu tahap adalah dengan cara
mereaksikan gas karbon monoksida dan atau karbon dioksida dengan gas hidrogen
menggunakan katalis kombinasi pada tekanan di atas 30 atmosfer dan suhu di atas
150 ºC. Jika dilihat pada proses pembuatan metanol yang juga menggunakan bahan
baku serupa, maka sebenarnya sintesis DME satu tahap hanyalah kepanjangan dari
proses pembuatan metanol. Faktor utama yang menentukan tingginya produksi (yield) adalah efisiensi dan efektifitas
katalis yang digunakan yang umumnya dikenal sebagai katalis kombo, yaitu
katalis untuk sintesis metanol (terdiri dari tembaga-seng-alumina) dan katalis
untuk proses dehidrasi metanol (gamma-alumina).
6.
Kesimpulan
DME adalah bahan bakar multi-source dan dapat diproduksi dari
banyak sumber, di antaranya dari gas alam, minyak (fuel oil),
batubara, limbah plastik, limbah kertas, limbah pabrik gula, dan biomassa.
Karena gas karbon monoksida dan hidrogen (disebut syngas) sebagai bahan baku DME maupun metanol bisa dihasilkan dari
reaksi gas metan dengan uap air, maka bisa dikatakan Indonesia memiliki potensi
menjadi produsen DME karena memiliki cadangan gas alam termasuk methan yang
sangat besar.
Dimethyl ether (DME) adalah bahan bakar yang mempunyai karakterisitk sama
seperti LPG yaitu berupa gas pada tekanan dan suhu ambien, serta dapat dicairkan
dengan memberikan sedikit tekanan. DME dapat dimanfaatkan seperti LPG. Kandungan racunnya sama dengan kandungan racun di LPG.
Efisiensi termal dan emisinya hampir sama dengan gas alam. Oleh karena itu DME bisa
menjadi bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan ekonomis selain LPG.
Melalui rute reaksi metanol menggunakan syngas,
hasil gasifikasi batubara dan setelah melalui dehidarasi metanol dihasilkan
DME.
Cadangan batubara Indonesia yang melimpah merupaka suatu potensi yang besar
sebagai bahan baku DME berbasis batubara untuk kemudian digunakan sebagai bahan
bakar gas alternatif untuk memasak. Kompor untuk gas alam atau LPG bisa
digunakan untuk DME tanpa modifikasi. Dengan tekad penelitian dan pengembangan
didukung dengan dana dan regulasi dari pemerintah tentu bakal menjadi fondasi
yang kokoh dalam mengembangkan bahan bakar alternative ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Gray C. and Webster G. (2001), “A Study of
Dimethyl Ether (DME) as an Alternative Fuel for Diesel Engine Applications”, Advanced Engine Technology
Ltd., 2001.
[2] Larson E.D. and Yang Huiyan, Dimethyl Ether (DME) from Coal as a Household Cooking Fuel in China,
Energy for Sustainable Development, Vol VIII, No. 3, 2004.
[3] Mangkusubroto
K., Prospek Penyediaan dan Pemanfaatan
Batubara untuk Pembangkitan Tenaga Listrik Dilihat dari Peengamanan Pasokan
Kebutuhan Jangka Panjang, Lokakarya Energi KNI WEC, Jakarta, 1996.
[4] Ogawa
Takashi, Inoue Norio, Shikada Tutomu and Ohno Yotaro, Direct Dimethyl Ether Synthesis, Direct Dimethyl Ether Synthesis, DME
Development Co., Ltd, Shoro-koku Shiranuka-ch, Hokkaido, 088-0563 Japan, 2003.
[5] Ohno Yotaro and Omiya Mamoru, Coal Conversion into Dimethyl Ether as an Innovative Clean Fuel, 12th
ICCS, November, 2003.
[6] Ohno
Yotaro, Inoue Norio, Ogawa Takashi, Ono Masami, Shikada Tsutomu and Hayashi
Hiromasa, Slurry Phase Synthesis and
Utilization of Dimethyl Ether, NKK TECHNICAL REVIEW No.85, 2001.
[7] Yoo Young Don, Lee Seung Jong and Yung Yongseung, The Synthesis of Dimethyl Ether from Syngas
Obtained by Coal Gasification, Institute
for Advanced Engineering, 633-3, Goan-ri, Baegam-myeon, Yongin-si,
Gyeonggi-do,Korea.
Pak, posisi bapak ada dimana? Apakah di Jakarat?
BalasHapusJika ada pihak yang ingin mengetahui lebih banyak tentang DME apakah bisa bapak diundang?
Terima kasih banyak atas perhatiannya.
Salam
Yoga