Selasa, 11 Juni 2013

Hari Gini Pakai Briket Batubara ?



Setelah Masyarakat Terlena menggunakan Elpiji
HARI GINI PAKAI BRIKET BATUBARA?

Oleh : Ir. Ahsonul Anam, MT

            Pertanyaan di atas tampaknya yang sering dilontarkan oleh beberapa warga masyarakat di saat harga bahan bakar sudah mulai murah lagi. Program konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji juga membuat masyarakat kita mulai “melupakan” penggunaan minyak tanah. Apalagi setelah masyarakat mulai terbiasa dengan kompor gas, dengan segala kenyamanannya, tentunya pantas bila sekarang kita mendengar ucapan sayonara pada minyak tanah. Kita patut mengacungkan jempol untuk program konversi tersebut, walaupun kita juga perlu juga memberikan catatan adanya beberapa kelemahan dari program tersebut dalam pelaksanannya di lapangan.
            Rasa nyaman yang sudah kadung dinikmati masyarakat atas penggunaan elpiji membuat mereka enggan untuk melirik (lagi) ke penggunaan minyak tanah, apalagi ke briket batubara. Sudah susah dinyalakan dan dimatikan, bau asapnya mengganggu, belum lagi seabreg kekurangan-kekurangan yang lain. Jadi pantaslah bila terdengar lontaran pertanyaan yang agak sinis ini : Hari gini pakai briket batubara ?.

Program Konversi Minyak Tanah
Program konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji dilaksanakan berdasarkan Surat Wakil Presiden RI Nomor 20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006. Dalam program itu, pemerintah berencana mengkonversi penggunaan minyak tanah sekitar 5,2 juta kilo liter kepada penggunaan 3,5 juta ton elpiji hingga tahun 2010. Program ini telah dimulai dengan meyalurkan 1 juta kilo liter minyak tanah pada 2007. Dihapakan pada akhir tahun 2010, tercapai sebanyak 80% konsumsi minyak tanah bisa beralih ke elpiji.
Walaupun ada beberapa kekurangan, terlihat dengan program tersebut masyarakat mulai bisa merasakan kelebihan penggunaan bahan bakar gas tersebut. Masyarakat yang sudah menggunakan elpiji semakin setia menggunakannya. Mereka juga mulai “malas” menggunakan minyak tanah, selain karena kurang praktis dibanding penggunaan elpiji, pasokan minyak tanah ke masyarakat juga sudah mulai sulit didapat.
Akhirnya masyarakat jadi “terlena” dengan penggunaan elpiji murah bersubsidi dan lupa melakukan upaya diversifikasi ke energi non elpiji. Ketika suatu saat bila harga elpiji dinaikkan dengan kenaikan yang signifikan, barulah terjadi hiruk pikuk wacana mencari bahan bakar alternatif. Haruskah kita menunggu hal ini terjadi ? Menurut saya, sangat terlambat.
Tentunya kita ingat, setiap terjadi kenaikan harga BBM kita sangat panik. Demonstrasi digelar di mana-mana. Protes, cacian dan makian begitu gampang keluar dari mulut kita yang ditujukan kepada pemerintah. Tapi, apa manfaat dari semua itu? Tidak ada.
Tragisnya, kepanikan itu pun hanya sesaat, lalu untuk selanjutnya beradaptasi pada situasi baru yang menyesakkan tersebut. Mungkin kita telah terbiasa hidup dalam kesesakan, harus (lebih) mengetatkan ikat pinggang sehingga kita mudah adaptif terhadap semakin mahalnya harga barang-barang. Atau memang kita hanya bisa nerima dan pasrah dengan kondisi yang semakin susah.

Diversifikasi Energi Non Elpiji
Ada beberapa energi alternatif gas selain Elpiji, misalnya dimethyl ether (lihat Ahsonul Anam, Suara Merdeka 23/2/09). Namun tak ada salahnya bila kita mencoba bahan bakar padat misalnya briket, yang kata sementara orang, ketinggalan zaman. Mengapa briket batu bara? Bukankah penggunaan briket batu bara sebagai bahan bakar sangat berbahaya bagi kesehatan penggunanya? Hal ini didasari fakta bahwa rumah-rumah di Indonesia rata-rata dirancang tanpa dilengkapi cerobong dapur sebagai saluran pembuangan asap.
            Bahaya itu kian jelas karena di Indonesia, yang disebut ventilasi hanyalah berupa satu lubang di langit-langit atau dinding dapur. Memasak dalam ruangan dengan bahan bakar padat, termasuk batu bara, bisa meningkatkan risiko kanker paru-paru secara signifikan.
Tantu alasan-alasan tersebut bisa kita terima. Tapi apakah alasan tersebut kemudia membuat kita menghentikan langkah untuk melakukan upaya diversifikasi energi? Sebagai analog, bukankah tangkai bunga mawar dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, namun toh tidak menyurutkan kita untuk menghirup semerbak wanginya. Ombak yang tinggi di pantai di negeri nun jauh di sana, justru menjadi arena olah raga selancar yang  menantang.
Namun (maaf) seperti biasanya, oleh karena kita takut dengan ombak besar maka potensi tersebut lenyap begitu saja. Dan banyak contoh yang lain, di mana bila potensi itu ada di negara kita, kita anggap sebagai rintangan.  Sementara di negara lain, potensi itu  justru jadi tantangan untuk ditaklukkan  Bukankah di dalam kesulitan pasti ada kemudahan ?.
Sebagai gambaran, briket batu bara memiliki tingkat emisi yang jauh lebih rendah dari pada minyak tanah. Hal ini menjadikannya sebagai sumber energi substitusi yang lebih aman bagi kesehatan. Hasil uji Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan pembakaran 1 kg briket selama 2-3 jam hanya menghasilkan tingkat emisi karbonmonoksida (C0) rata-rata 106 ppm. Sementara minyak tanah 250-390 ppm, atau tiga kali lipatnya.
Briket batu bara juga hanya menciptakan emisi nitrogen monoksida (NO) dengan konsentrasi amat kecil lantaran tidak dibakar dalam temperatur amat tinggi. Sementara tingkat emisi sulfur dioksida (SO2) briket rata-rata di bawah satu persen. Sebua angka yang sangat aman untuk kesehatan, mengingat kandungan sulfur batu bara Indonesia rendah.
            Makanan yang dimasak dengan menggunakan kompor briket batu bara tidak memiliki risiko besar terhadap kanker. Pengujian hal tersebut telah dilakukan BPPT melalui uji coba daging yang dibakar dengan briket serta arang dan membawanya ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM). Hasilnya, trend ke arah kanker sama saja dengan bila menggunakan bahan bakar bukan briket. Jadi tidak ada bedanya dan sangat tergantung dari cara memasaknya.
            Keunggulan lain dari briket adalah harganya yang lebih murah (Rp 1200 - Rp 1500 per kilogram) dibanding minyak tanah di pasaran (Rp 4000 - 6000 per liter). Harga briket batu bara juga lebih murah bila dibandingkan dengan harga elpiji. Harga elpiji kemasan 3 kg Rp. 4250/kg sedang kemasan 12 kg Rp. 5750 (per Agustus 2008).
Perlu diketahui, satu liter minyak tanah setara dengan 1,8 – 2 kg briket. Sedangkan 1 kg elpiji setara dengan 2,5 kg briket batu bara. Dengan demikian, untuk membeli 1 liter minyak tanah Rp 4000 sedangkan untuk membeli briket cukup dengan Rp. 3000 saja.
Harga briket juga lebih murah dibandingkan dengan harga elpiji kemasan 12 kg. Bila debandingkan dengan elpiji kemasan 3 kg (bersubsidi), harganya seimbang. Namun perlu diingat, bila masyarakat pengguna elpiji kemasan 12 kg ramai-ramai beralih ke kemasan 3 kg, padahal suplainya terbatas, maka kanyataan di lapangan akan berkata lain.
Hukum penawaran dan permintaan sebagaimana dalam ilmu ekonomi dipastikan akan terjadi. Kenaikan harga elpiji kemasan 3 kg tidak bisa dihindari lagi. Kalau sudah begini, mau tidak mau, ya masyarakat harus berpaling ke sumber energi lain yang harganya lebih murah, dan ini bisa didapatkan dari briket batubara.
            Untuk ukuran rumah tangga, karena alasan-alasan non teknis (tidak praktis, ribet dan lain-lain), mungkin kurang tertarik dengan pengunaaan briket. Lalu bagaimana dengan sektor industri kecil dan menengah ?.
     Pemakai utama minyak tanah (sebelum ada program konversi ke elpiji) adalah sektor rumah tangga dan industri kecil. Walaupun jumlah konsumen minyak tanah dari golongan industri kecil/ menengah relatif lebih sedikit dibandingkan dengan sektor rumah tangga, namun konsumsi minyak tanah di industri kecil ataupun menengah tersebut cukup besar.
Sebagai contoh, untuk industri kecil seperti pembuat tempe diperlukan kurang lebih 1 liter minyak tanah untuk memasak 10 kg kedelai/perhari. Jumlah konsumsi kedelai untuk setiap pengrajin tahu tempe sangat bervariasi, mulai dari 10 kg/hari hingga lebih dari 300 kg/hari. Sehingga konsumsi rata-rata minyak tanah untuk industri tempe seperti di kota Semarang diperkirakan sebesar 1.750 liter per hari.  Bila dari contoh kecil ini, pengusaha tempe beralih ke penggunaan briket, berapa banyak uang yang bisa dihemat ?.
            Sementara itu penggunaan briket batubara juga memberikan penghematan yang signifikan bagi nelayan yang menggunakan pengering oven. Penggunaan oven menguntungkan nelayan sebab pada musim hujan mereka masih tetap dapat berproduksi.
            Briket batu bara bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pengasapan karet, pengeringan tembakau, teh, cokelat, dan kopi. Briket batu bara juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan restaurant, seperti memanggang kambing guling, pemindangan ikan, usaha bandeng presto, gudeg. Di samping itu, briket batu bara juga bermafaat bagi industri rumahan seperti pembuatan roti, kue, krupuk, mie, bakso, soto, pengolahan jamur, jamu, teh, garam, dan gula merah. Masih banyak lagi sektor ekonomi kecil yang bisa memanfaatkan penggunaan briket batu bara sebagai sumber energi alternatifnya.
 Sebagian besar industri pemakai briket batu bara merupakan pasar yang cukup potensial mengingat sebagian besar merupakan anggota koperasi atau KUD. Berdasarkan hasil survei, perkiraan kebutuhan briket batu bara untuk industri kecil pengeringan gabah di Jawa dan Bali mencapai angka 573.073 ton per tahun. Sementara industri tahu dan tempe sebesar 308.780 ton per tahun, pemanas ayam (DOC) sekitar 181.030 ton, pondok pesantren 26.003 ton dan industri kecil jamu sebesar 700.800 ton/tahun. Tabel berikut menunjukkan potensi pengguna briket batubara.
Tabel
Perkiraan pemakaian briket batubara di Jawa dan Bali
(Ton )
Industri Pemakai 
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Yogyakarta
Bali
Total
Tahu/Tempe
111.660
84.500
96.400
8.150
8.070
308.780
Pengeringan gabah
207.053
166.575
170.677
12.944
15.824
573.073
Pemanas ayam
53.244
53.244
53.244
10.649
10.649
181.030
Pesantren
11.813
4.271
9.040
788
91
26.033
Jamu
87.600
87.600
525.600
-
-
700.800
Lain-Lain*)
2.520
1.992
2.400
120
100
7.132
Total
473.800
398.182
857.361
32.651
37.734
1.976.818
*) industri mie, rumah makan, industri petis, pabrik roti, pengeringan batubara, pengolahan kulit
Sumber : Departemen Koperasi & PKM


Selama ini, briket batu bara terbatas diproduksi oleh PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (PT BA) yang mengoperasikan tiga pabriknya di Tanjung Enim, Tarahan dan Gresik. Masing-masing dengan kapasitas produksi terpasang 10.000 ton/tahun, 12.000 ton/tahun dan 120.000 ton/tahun. Pabrik briket di Tanjung Enim merupakan kerja sama antara PT BA dengan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang dengan menerapkan teknologi proses briket terkarbonisasi.
Sedangkan pabrik di Tarahan, sebelumnya memproduksi briket arang kayu dengan teknologi proses dari Spanyol. Sejak tahun 1996 dikembangkan menjadi pabrik briket batu bara yang dapat memproduksi briket jenis telur tidak terkarbonisasi. Sedangkan pabrik di Gresik mengaplikasi teknologi dalam negeri yang menghasilkan briket sarang tawon jenis kubus dan tidak terkarbonisasi. Selain PT BA, terdapat dua perusahaan swasta yang memproduksi briket batu bara yaitu CV Sinar Teknik Utama yang memiliki kapasitas produksi 1.800 ton/tahun.

Cara menggunakan briket secara benar
Sebagian kelompok masyarakat ada yang beranggapan, briket batu bara semata-mata merupakan bongkahan hitam yang apabila dibakar akan menimbulkan asap kotor hitam, mengotori lingkungan dan mengeluarkan zat beracun. Pandangan tersebut keliru.
Briket batu bara terdiri dari dua jenis, yaitu briket terkarbonisasi dan briket yang tidak terkarbornisasi. Jenis pertama telah melalui satu tahapan proses karbonisasi untuk mengurangi zat beracun (volatile matter). Sementara jenis kedua kualitasnya memang lebih rendah, tetapi cocok digunakan pada sektor industri kecil dan menengah yang biasanya melakukan pembakaran di ruangan terbuka.
Dalam menggunakan briket batu bara, kompor sebaiknya diletakkan di tempat yang agak tinggi. Pintu atau jendela udara yang terletak di dekat kompor harus terbuka lebar, agar sirkulasi udara bisa berjalan lancar untuk meminimalisasi resiko karena penggunaan briket.
Pada waktu pertama kali dinyalakan pertama kali (khususnya untuk briket non karbonisasi), akan timbul asap yang mungkin mengganggu. Disarankan untuk tidak berada di dapur sekitar 10 menit pertama agar terhindar dari bau tersebut. Untuk mengatur panas/nyala, gunakan pengatur udara di bagian bawah kompor, dibuka lebar untuk pemanasan yang maksimum dan disempitkan untuk pemanasan minimum.
Sebagai langkah penghematan, gunakan briket sesuai dengan kebutuhan. Pemadaman dapat dilakukan dengan menutup pengatur udara dan bagian atas kompor (dengan penutupan). Atau mengambil satu persatu briket (khususnya yang tipe telur) yang menyala dengan penjepit kemudian dibenamkan ke dalam pasir atau abu briket batubara.
Manfaat dan keuntungan memasak dengan briket batubara antara lebih irit dan hemat, panas yang tinggi dan kontinyu sehingga sangat baik untuk pembakaran yang membutuhkan waktu lama. Nyala dari briket relatif bersih (tidak berjelaga), daya tahan nyalanya juga cukup lama. Sedangkan rasa, bau dan aroma dari masakan yang dimasak tetap asli/orisinil. Pemakaia briket batu bara juga bisa terhindar dari resiko kompor atau tabung yang meledak dan terbakar.
Oleh karena itu, dengan berbagai kelebihan yang dimiliki oleh briket batu bara tersebut seharusnya bisa dijadikan energi alternatif selain minyak tanah dan elpiji. Masalahnya, di masyarakat masih terjadi kesalahpahaman dalam memahami briket batu bara. Mungkin di sini diperlukan kebijakan pemerintah untuk memasyarakatkan briket batu bara sebagai energi alternatif. Lalu, masihkah kita harus mendengar lagi pertanyaan “Hari gini pakai briket batu bara?”***

Ir. Ahsonul Anam, MT
Staf Sub Bidang Konversi dan Pengendalian Polusi, Bidang Energi Fosil B2TE BPPT Puspiptek Serpong Tangerang
email : ahsonosh@yahoo.com

Boiler Berbahan Bakar Sampah



BOILER BERBAHAN BAKAR SAMPAH

Ahsonul Anam
B2TE, BPP Teknologi
Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, 15314


Abstract
Municipal waste has high economic value if the organic and inorganic waste has been separated at the source. If organic and inorganic waste mixed, municipal waste has lower (no) value and environment harmful. There are many technologies for waste treatment i e steam generator using waste as fuel. The technology produces steam and reduces the waste significantly. The experiment of steam generation system performance has been done with waste as fuel and kerosene as a comparator fuel. The experiment with waste fuel resulted the stable flame, odorless and the time for steam formation is faster compared to kerosene stove.

Kata kunci : Boiler, sampah



1.       PENDAHULUAN.

Sampah pada hakekatnya mengandung komponen-komponen yang memiliki nilai ekonomi bila sejak dari sumbernya komponen-komponen sampah telah dipilah-pilah menurut jenisnya. Sebagai contoh, sampah anorganik: plastik bisa dijual ke pabrik pengolah plastik, sampah kertas bisa dijual ke pabrik pengolah kertas, sedang sampah organik setelah melalui proses pengomposan bisa dijual sebagai pupuk kompos. Bila sampah anorganik tercampur secara acak dengan sampah organik yang mudah membusuk, maka nilai ekonominya menjadi hilang. Diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk menanganinya karena bila dibiarkan menumpuk saja di tempat pembuangan akhir (TPA), akan mencemari lingkungan dan menurunkan kualitas hidup karena timbulnya bau yang tak sedap, kerumunan lalat, sumber penyakit, gas beracun, air lindi (leach water) yang terserap ke tanah dapat meresap ke sumur masyarakat atau bila mengalir ke sungai akan mencemari air sungai.
     Telah banyak tulisan mengenai teknologi penanganan sampah, tetapi kenyataannya sampah masih menjadi masalah sehari-hari karena keengganan menggunakan teknologi tersebut. Alasan yang dikemukakan, di antaranya biaya yang harus dikeluarkan tidak sebanding  dengan hasil yang didapatkan, pemanfaatan teknologi tersebut membutuhkan lahan yang luas waktu proses yang lama (misal untuk pengomposan). Hal ini menyebabkan kesulitan bagi pemerintah daerah dalam mencari lahan untuk tempat pembuangan akhir dan juga harus mencari lahan luas lain yang dibutuhkan untuk lahan pengomposan. Pembakaran sampah yang dilakukan di udara terbuka, walaupun mampu mengurangi volume sampah secara cepat namun menimbulkan polusi udara berupa abu (particulate) atau gas beracun seperti misalnya gas furan dan dioksin (Sumaiku, 2006).
     Makalah ini membahas masalah penanganan  sampah untuk kemudian dibakar untuk pembangkitan uap agar diperoleh nilai  finansial. Produksi uap (steam) bisa digunakan untuk proses produksi atau untuk membangkitkan energi sekaligus mengurangi volume sampah dan mengurangi masalah-masalah yang ditimbulkan karena penumpukan sampah.

2.       BAHAN DAN METODE EKSPERIMEN
2.1. Penggolongan sampah.

Sebagai contoh kasus adalah sampah yang diproduksi oleh DKI Jakarta, yang setiap tahunnya selalu bertambah seperti terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Produksi dan Volume Sampah yang terangkut per hari di DKI Jakarta


TAHUN
PERKIRAAN PRODUKSI
SAMPAH PER HARI
(m3)
VOLUME SAMPAH YANG
TERANGKUT PER HARI
(m3)
1985 / 1986
1986 / 1987
1987 / 1988
1988 / 1989
1989 / 1990
1990 / 1991
1991 / 1992
18.000
18.694
20.150
21.234
21.671
21.894
23.706
14.506
16.055
16.452
16.769
17.331
17.874
18.997
Sumber : Suprihatin dkk. (1996).

Berdasarkan asal sampah yang diproduksi oleh DKI Jakarta setiap harinya :
-          58% berasal dari kegiatan rumah tangga,
-          10% berasal dari kegiatan pasar (pasar temporer menyumbang 2,5%, sedang PD Pasar Jaya menyumbang 7,5%),
-          15% berasal dari kegiatan komersial (perkantoran, pusat perbelanjaan),
-          15% berasal dari kegiatan industri
-          2% dari taman, jalan dan sungai.
Sumber : Dinas Kebersihan DKI (2001).

2.1.1. Sampah Organik dan Non Organik.

Berdasarkan jenisnya, sampah digolongkan menjadi dua yaitu sampah organik 74% dan sampah nonorganik 26%, dengan komposisi sangat beragam seperti terlihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2. Persentase Komposisi Sampah di DKI Jakarta


JENIS SAMPAH
1988 / 1989
(%)
1989 / 1990
(%)
1990 / 1991
(%)
1991 / 1992
(%)
Organik/ sayuran
Kertas/ paper
Plastik
Logam
Karet/ kulit tiruan
Kayu
Kain
Gelas/ Kaca
Lain-lain
73,99
8,28
5,44
2,08
0,56
3,77
3,16
1,77
0,95
73,99
8,28
5,44
2,08
0,56
3,77
3,16
1,77
0,95
73,99
8,28
5,44
2,08
0,56
3,77
3,16
1,77
0,95
73,99
10,18
7,86
2,04
0,55
0,98
1,57
1,75
0,86
Sumber : Suprihatin dkk. (1996).

2.1.2. Penggolongan Sampah Berdasarkan Kemampuan Bisa Dibakar atau Tidak.

Selain logam dan gelas yang jumlahnya hanya sekitar 5 % (Tabel 2), sampah organik dan nonorganik bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap. Hal yang perlu diperhatikan adalah kandungan air dan abu dari sampah yang menentukan nilai kalor dari sampah. Bila kandungan air dalam sampah tinggi maka kalor akan terpakai untuk memanaskan dan menguapkan air yang terkandung dalam sampah tersebut semakin besar. Hal ini akan menurunkan efisiensi pembakaran di dalam ruang bakar. Hal ini berarti mengurangi kalor yang digunakan untuk menghasilkan steam (Anam dan Kuncoro, 2003).
Keberadaan abu dalam sampah akan memungkinkan terbentuknya slag (lelehan abu). Pada suhu di ruang bakar yang cukup tinggi lelehan abu ini akan bereaksi dengan zat yang lain dan mengeras bila tidak ditangani secara memadai. Lelehan abu fraksi berat bisa terjadi di bagian dasar ruang bakar (bottom ash), bisa juga terjadi di bagian pipa-pipa perpindahan panas (di daerah radiasi) yang disebabkan oleh lelehan abu fraksi ringan (fly ash). Lelehan abu di dasar tungku akan mengakibatkan terhambatnya pasokan udara pembakar. Untuk tipe stoker, biasanya udara dipasok melalui bagian bawah grate, sehingga adanya lelehan abu menurunkan kecepatan pembakaran sampah. Lelehan abu yang menempel di pipa-pipa perpindahan panas akan menurunkan efisiensi perpindahan panas, hal ini akan menurunan kecepatan pembentukan steam. Bahkan bisa mengakibatkan pecahnya pipa karena over heating (Singer,1981; Stultz and Kitto, 1992). Jadi abu ini harus sesegera mungkin dikeluarkan dari ruang pembakaran.
     Berdasarkan analisa ultimat, sampah mengandung C 47,6%, H 6%, N 1,2%, S 0,3% dan abu 12% (Anam dan Kuncoro, 2003). Karbon dan hidrogen dalam sampah akan terbakar menjadi karbon dioksida, air dan dihasilkan energi pembakaran. Energi pembakaran inilah yang digunakan sebagai pembangkit steam.
            C + O2              ® CO2              + energi
C + ½  O2          ® CO               + energi
CO + ½ O2        ® CO2              + energi
H2 + ½ O2          ® H2O              + energi
S + O2              ® SO2              + energi

2.2. Pembangkitan Uap

Beberapa peralatan penting untuk membangkitkan uap berbahan bakar sampah, di antaranya adalah : alat penyiapan bahan bakar dan alat pengering, ruang bakar tempat terjadinya proses pembakaran sampah, alat perpindahan panas, steam drum, alat pengendali gas buang, alat penyiapan air umpan boiler, penampung abu serta peralatan pengontrol kinerja boiler secara keseluruhan.

2.2.1. Fasilitas Penyiapan Bahan Bakar.

Peralatan ini sangat berperan untuk kelangsungan operasional unit, karena ada beberapa komponen dalam sampah yang tidak bisa dijadikan sebagai bahan bakar, di antaranya besi, gelas dan lain-lain. Jadi keberadaan fasilitas ini adalah untuk memastikan bahwa sampah yang diumpankan ke ruang bakar adalah sampah yang bisa terbakar.
     Ada hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa di daerah tropis seperti di Indonesia, dengan curah hujan yang tinggi, maka setelah fasilitas pemilahan, diperlukan juga fasilitas pengering, karena sampah dengan kandungan air yang tinggi akan mengganggu kinerja pembakaran di ruang bakar, di antaranya adalah banyaknya energi yang digunakan untuk menguapkan air dalam sampah, bahkan kalau kandungan air sangat tinggi menjadikan sampah sulit terbakar, yang pada akhirnya akan mengakibatkan proses pembakaran tidak berlangsung.
     Adakalanya di dalam sampah terdapat bahan-bahan yang berukuran besar atau panjang, yang akan menimbulkan kesulitan bila diumpankan langsung ke ruang bakar. Untuk mengatasi hal ini maka diperlukan alat pencacah sampah sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan. Alat pencacah sampah ini bisa digabungkan dengan alat pengering.

2.2.2. Tungku Bakar.

Boiler yang sekaligus sebagai penuntas sampah dan karena spesifikasi sampahnya sangat bervariasi maka ketergantungan kesuksesan operasi pada jumlah mesin yang sedikit akan mengurangi faktor kehandalan sistem. Maka perlu diperhatikan pembagian beban untuk sejumlah unit sehingga masing-masing unitnya ukurannya kecil. Oleh karena boiler yang diperlukan berkapasitas kecil maka tungku bakar yang digunakan adalah tungku bakar jenis stoker. Tungku jenis stoker sangat sederhana pembuatannya dan operasinya. Selain itu stoker lebih dipilih karena kisaran operasinya yang lebih luas, kemampuan membakar bahan bakar padat dengan kisaran luas (Singer,1981; Stultz and Kitto, 1992) sehingga cocok untuk sampah yang sangat bervariasi komposisinya setiap hari dan lebih sedikit penggunaan listrik.
     Sistem pembakaran menggunakan stoker terdiri atas :
¨         Sistem pengumpanan bahan bakar
¨      Perangkat grate stasioner (tetap) untuk menopang sejumlah massa bahan bakar serta melewatkan udara pembakar ke dalam unggun bahan bakar.
¨       Sistem udara atas api (over fire air) untuk membantu kesempurnaan pembakaran dan mengurangi emisi polutan (Singer,1981; Stultz and Kitto, 1992).
¨          Sistem pembuangan abu.

     Secara garis besar, bahan bakar diumpankan secara terus menerus secara manual melalui lobang pengumpan, jatuh dan disebarkan merata di atas grate, setelah terbakar, abu sisa pembakaran turun melalui kisi-kisi grate atau didorong (baik secara manual maupun menggunakan chain atau travelling grate) ke ujung grate, dikumpulkan di penampung abu.
     Udara pembakar dibagi menjadi dua bagian yaitu udara yang diumpankan dari bawah grate dan udara yang diumpankan dari atas grate. Udara pembakar yang diumpankan dari bawah grate (udara pembakar utama), bergerak ke ruang bakar melalui unggun bahan bakar. Sedang udara yang diumpankan melalui bagian atas unggun bahan bakar (overfire air) membantu kesempurnaan pembakaran (karena membantu terjadinya turbulensi) dan mengurangi pembentukan asap (smoke). Umpan udara melalui bagian atas api (overfire air) sekitar 15-20 % dari keseluruhan udara umpan (Singer,1981; Stultz and Kitto, 1992).

2.2.3. Alat Perpindahan Panas dan Steam Drum.

Di dalam ruang bakar, pembakaran limbah berlangsung secara terus menerus sehingga dihasilkan gas yang bersuhu tinggi, karena itu di ruang bakar ini perpindahan panas dari gas panas ke fluida didominasi oleh radiasi. Radiasi panas diserap oleh air melalui evaporator menghasilkan uap air jenuh. Evaporator tersusun atas pipa-pipa vertikal dengan kemiringan tertentu (agar panas radiasi terserap lebih efisien) mengelilingi ruang bakar. Uap jenuh hasil penguapan dikumpulkan di dalam steam drum untuk dipisahkan antara fraksi uap dengan fraksi cair. Proses pemisahan uap dari air mendidih di dalam steam drum dilakukan secara mekanik dengan sekat-sekat yang membantu dan melengkapi pemisahan secara gravitasi. Fraksi uap dialirkan ke alat proses yang membutuhkan uap air jenuh sebagai media proses, sedang fraksi cair diumpankan lagi ke pipa-pipa evaporator. Bila media proses membutuhkan uap air panas lanjut (super heated steam), maka fraksi uap tersebut dialirkan ke pipa-pipa super heater memanfaatkan panas radiasi di ruang bakar atau di bagian konveksi. Panas konveksi lanjutan dimanfaatkan untuk memanaskan air penambah (make up) sehingga menambah efisiensi penyerapan panas. Sistem penambah air umpan dilakukan secara otomatis melalui penginderaan tinggi muka air di dalam steam drum.

2.2.4. Pengendali Gas Buang dan Pengumpul Abu.

Gas buang hasil pembakaran bersama-sama dengan abu terbang keluar ruang pembakaran dilewatkan ke (multi) siklon sebelum dibuang ke atmosfer melalui cerobong. Siklon berfungsi untuk memisahkan gas fraksi ringan dengan fraksi berat. Fraksi berat berupa partikulat terpisah melalui bagian bawah siklon, dikumpulkan di penampung abu, sedangkan fraksi ringan, berupa gas buang yang relatif sudah bersih dari partikulat, keluar melalui bagian atas siklon menuju ke cerobong.

2.3. Metode Eksperimen

Eksperimen dilakukan menggunakan boiler penyulingan Akar Wangi. Penyulingan Akar wangi yang biasa dilakukan oleh penduduk secara tradisional, yaitu mengukus Akar wangi dalam bejana pada suhu dan tekanan tertentu secara batch selama 12 jam atau lebih (Gambar 1).


 
 Keterangan gambar :
1. Bahan baku Akar wangi          4. Pendingin
2. Air                                               5. Separator
3. Ruang bakar



Gambar 1. Skema alat penyulingan tradisional.

     Bahan bakar yang digunakan adalah minyak tanah, kurang lebih 300 liter (rata-rata 25 liter per jam) per sekali proses untuk penyulingan 2 ton bahan baku Akar wangi. Empat jam pertama digunakan sebagai proses pemanasan awal pembentukan steam dilanjutkan dengan pencapaian tekanan proses yang diinginkan. Steam yang dihasilkan langsung digunakan sebagai media untuk menguapkan zat-zat yang mudah menguap (volatile matter) Akar wangi, kemudian setelah melalui proses kondensasi terbentuk kondensat yang terdiri atas air (yang berasal dari penguapan air proses dan air yang terkandung dalam Akar wangi) di bagian bawah serta minyak Akar wangi di bagian atas. Kondensat tersebut ditampung dalam suatu penampung yang dilengkapi dengan pipa kapiler yang berfungsi untuk memisahkan air dan minyak Akar wangi. Setelah itu dilakukan proses pemurnian dengan cara menyaring untuk memisahkan sisa air.
     Setelah proses penyulingan selesai, kompor dimatikan, kemudian dilakukan penurunan tekanan sampai tekanan atmosferik melalui pembuangan uap proses secara by pass. Setelah kondisi atmosferik tercapai, dilakukan pembongkaran dan pengisian kembali bahan baku Akar wangi. Akar wangi yang telah dilakukan penyulingan dianggap sebagai limbah, dibakar di tempat terbuka.
     Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, salah satunya adalah dengan suatu inovasi teknologi yang bertujuan untuk memanfaatkan limbah padat penyulingan menjadi bahan bakar yang bermanfaat. Sebagai pertimbangan bahwa proses penyulingan dengan sistem terpisah antara bejana pembentukan uap dan bejana penyulingan menghasilkan kualitas minyak yang lebih baik dan juga dengan pemisahan tersebut memberi keleluasaan dilakukannya perancangan sistem pembangkit uap untuk mencapai kualitas pembakaran dan perpindahan panasnya dengan baik, maka sistem yang dikembangkan sebaiknya merupakan sistem yang terpisah. Dalam hal ini, poin utama yang harus diperhatikan adalah rancangan sistem pembakaran yang memungkinkan limbah tersebut bisa terbakar secara stabil, tidak menghasilkan bau, serta penanganan abu yang memadai sehingga aman terhadap lingkungan.
     Uji coba terhadap kinerja peralatan dilakukan pada boiler skala kecil sistem fixed grate berkapasitas 100 kg/jam dengan dua sistem terpisah yaitu sistem pembentukan uap dan sistem penyulingan (Gambar 2).
Gambar 2. Boiler berbahanbakar limbah padat
(sumber : Anam dan Kuncoro, 2003)
     Percobaan pertama menggunakan limbah sebagai bahan bakar, selanjutnya dibandingkan bila menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar dengan kecepatan konsumsi bahan bakar minyak tanah 25 liter per jam (sesuai dengan konsumsi minyak tanah pada tungku tradisional). Pengamatan yang dilakukan adalah perbandingan waktu yang diperlukan sampai terjadi uap air (steam) pertama kali. Di samping itu, selama menggunakan bahan bakar  limbah, diamati kestabilan nyala api serta bau yang mungkin ditimbulkan secara organoleptis.
    
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari uji coba pembakaran menggunakan limbah Akar wangi (tumbuhan Akar wangi pasca penyulingan) terjadi nyala yang sangat stabil dan pembentukan uap (tekanan operasi 5 bar) pertama kali terjadi dalam waktu 30 menit, sedangkan bila menggunakan minyak tanah diperlukan waktu 40 menit (Anam dan Kuncoro, 2003).
     Pada percobaan pembakaran menggunakan limbah Akar wangi, sistem penanganan abu (bottom ash) masih kurang bagus, dalam arti abu tersebut tidak langsung turun dari grate, maka terjadi sebagian kecil slag.
     Bila dibandingkan antara karakteristik limbah padat Akar wangi dengan karakteristik sampah memang sedikit berbeda, yaitu limbah padat Akar wangi tidak bercampur dengan limbah padat yang lain sedangkan komposisi sampah sangat bervariasi dari hari ke hari dan belum terpilah secara baik (memilah sampah belum membudaya di Indonesia). Namun dari hasil eksperimen ini diharapkan akan menjadi katalisator untuk diterapkan terhadap sampah.

4. KESIMPULAN

Pemakaian boiler berbahan bakar sampah memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut :
-    Dapat mereduksi sebagian besar volume sampah secara cepat (hanya tersisa abu, sekitar 12%).
-    Panas yang dihasilkan pada proses pembakaran dapat dimanfaatkan sumber energi untuk penguapan, dan uap air yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan proses lanjutan maupun untuk pembangkit listrik.
-         Tidak memerlukan lahan yang besar.
-          Polusi partikulat bisa diminimalisasi dengan penggunaan alat pengendali partikulat.

Di samping keuntungan, ada beberapa kerugian yang ditimbulkan bila menggunakan boiler berbahan bakar sampah, di antaranya :
-       Gas buang dari proses pembakaran berpotensi mencemari lingkungan yang disebabkan oleh timbulnya gas beracun seperti dioksin (Sumaiku, 2006). Namun hal ini bisa diminimalisasi dengan cara memilah terlebih dahulu komponen sampah yang akan diumpankan ke ruang bakar, di antaranya dipisahkan zat-zat penyebab timbulnya dioksin, misalnya sampah plastik, ban bekas, karet dan lain sebagainya.
-         Menghasilkan gas SO2 dalam gas buang dalam jumlah sedikit, namun gas ini termasuk dalam kategori gas polutan.
-   Sampah yang akan diumpankan ke ruang bakar tidak boleh berasal dari sampah yang dikategorikan B3, karena sampah B3 memerlukan penanganan tersendiri sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
-       Gas buang mengandung gas CO2, yaitu gas yang diindikasikan sebagai penyebab pemanasan global (Hazan, 2005).


DAFTAR PUSTAKA

   Anam Ahsonul, 2001, Mekanisme Pembentukan Slagging dan Fouling pada Boiler Batubara, Pelatihan Teknologi Pembakaran di Industri, UPT LSDE - BPPT.

   Anam Ahsonul dan Kuncoro Heru, 2003, Penyulingan Akar Wangi (Vetiveria zizaniodes) Menggunakan Boiler Berbahan Bakar Limbah, Prosiding Seminar Nasional Daur Bahan Bakar, Jakarta.

   Anam Ahsonul dan Heru Kuncoro, 2004, Retrofit Alat Penyulingan Akar Wangi Tradisional Menggunakan Boiler Berbahan Bakar Limbah Ramah Lingkungan, Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 5 No.1, Jakarta.

   Dinas Kebersihan DKI, 2001, http://www.kebersihandki.com/, informasi diambil dari internet pada tanggal 23 April 2003.

    Hazan Yaziz, 2005, Ancaman Bencana Iklim oleh Pemanasan Global, http://www.batan.go.id/infonuklir/Jurnal/Fokus/AncamanBencanaPemanasanGlobal.htm,informasi diambil dari internet pada tanggal 15 Nopember 2005.

  Naruse Ichiro, Gani Asri, Morishita Keiju, 2003, Fundamental Characteristic on Co-combustion of Low-rank Coal with Biomass, Proceeding of The 1st International Seminar on Ecological Power Generation, Jakarta.

  Singer J.G., 1981, Combustion, Fossil Power Systems, Combustion Engineering Inc., Connecticut, USA.

    Stultz S.C.and J.B. Kitto, 1992, Steam Its Generation and Use, Babcock & Wilcox Company, Barberton, Ohio, USA.

Sumaiku Yohan, 2006, Apa Akibatnya dari Pembakaran Sampah di Pekarangan Rumah Tangga dan Pembakaran/Kebakaran Hutan terhadap Kesehatan, www1.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/sehat/sampah.htm, informasi diambil dari internet pada tanggal 21 Pebruari 2006.   

Suprihatin Agung, Prihanto Dwi dan Gelbert Michel, 1996, Sampah dan Pengelolaannya, PPPGT / VEDC Malang.